Para Penerus Augustus
sampai dengan tahun 180 M.
Empat kaisar sesudah Augustus
sesungguhnya tidak sesuai untuk memangku jabatan setinggi itu, Tiberius
memerintah dari tahun 14 hingga 37 M, yang merupakan baik anak tiri maupun anak
menantu Augustus, pada akhir hidupnya melarikan diri ke pulau Capri untuk
mengungsi dari Roma dan dari musuh-musuhnya yang senantiasa membuat dirinya
bingung. Caligula (37-41 M), yang merupakan cucu kemenakan Tiberius,menjadi
gila dan akhirnya dibunuh. Claudius (41-54 M), paman Caligula, secara fatal
mati karena diracun oleh istrinya sendiri. Istrinya ini sangat ambisius dan
bersengkokol untuk merebut mahkota kerajaan guna ia serahkan kepada Nero,
anaknya dari hasil perkawinannya sebelum ia kawin dengan Claudius. Nero (54-68
M), yang membunuh ibunya maupun istrinya sendiri, adalah kaisar yang bernasib
paling buruk. Negara menyediakan tempat-tempat pertunjukan “ sirkus” yang
gratis yang sering dalam bentuk pacuan kereta perang dan perkelahian para
Gladiator. Di dalam kontes di Colosseum, di mana para gladiator itu sering
tewas, menunjukkan suatu kebrutalan, yang merupakan sisi yang tak berperasaan
dalam jiwa orang Roma.
Keruntuhan
Roma
Kaisar-Kaisar
yang Tak Berhasil (180-284 M)
Dengan meninggalnya
Marcus Aurelius pada tahun 180M, Pax Romana dan abad-abad penuh dengan
karya-karya agung dalam peradaban Romawi berakhir. Penganut Stoa yang agung itu
meninggalkan prinsip-prinsip adopsi dan mengijinkan anaknya yang sesungguhnya,
Commodus (180-193), untuk menggantikannya. Kekacauan, korupsi, dan pertumpahan
darah pada masa-masa pemerintahan Cligula, Claudius, dan Nero muncul kembali.
Commodus juga kaisar-kaisar lemah. Akibat kelemahan para kaisar ini adalah
munculnya zaman anarkhi militer (235-284), digerakkan oleh militer karena
faksi-faksi dalam angkatan brsenjata saling bertikai sendiri atas
kesewenang-wenangan para kaisar. Pada separuh abad setelah tahun 235, secara
bergantian Roma diperintah oleh hampir dua lusin kaisar, dan hanya satu
diantaranya yang meninggal secara wajar. Terpikat untuk masuk politik dan
mencari uang, tentara mengabaikan tugas wajibnya dalam melindungi kekaisaran.
Pertahanan di sepanjang perbatasan Rhine-Danube mengalami kemerosotan.
Kekaisaran Romawi yang telah bangkit kembali mulai mengancam daerah-daerah
dominion Roma.
Reformasi
Diocletianus dan Penerus-penerusnya.
Kaisar Diocletianus
(284-305 M), seorang veteran tentara. Ia memulai serangkaian reformasi secara
drastis yang akhirnya mentransformasikan Kekaisaran menjadi suatu otokrasi yang
tersentralisir mirip prinsip-prinsip Oriental tradisional. Reformasi ini
diteruskan Galerius ajudan Diocletianus tahun 293-305 M dan menjadi kaisar dari
305-311 M, serta di bawah musuh dan kaisar Galerius yakni Constatine yang
termashyur ( 306-337). Sepanjang periode ini di warnai kekacauan dan tidak
jelas kebijakan yang harus bertalian dengan Diocletianus yang harus dihubungkan
dengan Galerius atau Constantine (306-337 M).Diocletianus dan para penerusnya
meninggalkan rasa hormat seperti yang diperlihatkan oleh Augustus dan kaisar
lainnya pada awal kekaisaran. Mereka menghancurkan keseimbangan antara
sentralisasi dan desentralisasi, kekaisaran dan civitas, menghapus hak-hak
otonomi yang ada pada “civitates”, dan memeberikan kekuasaan absolute kepada
para gubernur atas urusan-urusan local. Gubernur itu, dengan kesatuan-kesatuan
territorial yang lebih kompak.
Diocletianus
memindahkan ibukota kekaisaran belahan barat dari Roma ke Milan. Peranan kota
Roma manjadi berkurang. Constatine menetapkan ibukota kekaisaran Romawi belahan
timur di Byzantium, yang kemudian ia ubah namanya menjadi Konstantinopel.
Pembagian kekaisaran Romawi ke dalam dua bagian ini merupakan suatu peristiwa
yang penting. Pembagian secara politis ini sejajar dengan pembagian secara
linguistis, mereka yang tinggal di belahan barat berbahasa Latin, yang di timur
berbahasa Yunani. Tindakan Diocletianus ini jelas membuat adanya dua kebudayaan
yang berbeda dan menggerogoti kesatuan bangsa Romawi. Ini nantinya menimbulkan
divergensi antara peradaban Eropa barat dan selatan lebih condong ke Romawi dan
peradaban Greco Oriental yang tersebar di Russia dan daerah Balkan.
Untuk menjamin
ketangguhan para prajurit yang akan direkruit ke dalam angkatan bersenjata,
Diocletianus mengandalkan pada orang-orang Jerman dan tentara sewaan asing
lainnya. Dia tidak merekruit para warga Negara untuk menjadi tentara.
Diocletianus meminjam kemegahan dan keagungan gaya Persia, di mana sang raja
didudukkan sebagai seorang dewa. Ia menyepuh paku dan emas yang telah dipoles
untuk membuat barang-barang yang bergelantungan ditubuhnya lebih mempesona. Hal
ini untuk menunjukkan identitasnya dengan matahari dan langit. Para pejabat
pemerintahan memperoleh gelar-gelar keagamaan yang tinggi : pejabat keuangan
kini bergelar “ count of the sacred largesses” (pangeran yang mendapat anugerah
suci dan dewan Negara (dewan imperial) menjadi “consistory (dewan) suci”.
Dengan sia-sia Diocletianus mencoba menyelamatkan kondisi keuangan
pemerintahannya dari kebangkrutan. Usaha-usaha Diocletianus untuk mengendalikan
inflasi dengan cara memaksakan kontrolnya atas harga menyebabkan timbulnya
pasar gelap dan kerusuhan-kerusuhan dikalangan para pemilik took dan pembeli.
Diocleatianus dan para penerusnya cenderung menegakkan suatu sistem kasta.
Seseorang boleh jadi melakukan pekerjaan yang sama sepanjang hidupnya.
Dari waktu atau masa pemerintahan
Diocletianus dan Constantine hingga lenyapnya kekuasaan Romawi barat secara
penuh pada tahun 476 M, secara bertahap muncul dua lembaga atau institusi yang
mengambil alih kendali atas Mediterania barat. Kekuasaan-kekuasaan baru ini
adalah, pertama, Gereja Kristen, dan kedua, suku-suku Jerman yang mengorganisir
suatu kerajaan yang mengganti kekaisaran Romawi barat.
Mengapa Roma Mengalami
Kemunduran
Dalam kemiliteran,
kemunduran mulai Nampak selama abad ketiga dengan terjadinya regenerasi legion
ke dalam kelompok-kelompok penekan politik dan ekonomi. Dalam bidang pilitik,
kemunduran mulai Nampak dengan ditinggalkannya sistem adopsi pada tahun 180 dan
berlanjut dengan anarkhi militer serta pemaksaan cara-cara sentralisasi
Oriental. Pada masa pemerintahan Diocletianus, perekonomian dan masyarakat Roma
tengah menunjukkan gejala-gejala kemunduran yang serius. Krisis sosial dan
ekonomi Kekaisaran Romawi dalam hal-hal tertentu merupakan akibat dari
kekacauan anarkhi militer, menurunnya pertumbuhan penduduk berarti jumlah
penduduk berkurang sehingga jumlah
pembayar pajak sedikit. Faktor-faktor moral, spiritual, dan psikologis juga
ikut ambil bagian dalam kemunduran Romawi. Perdebatan mengenai peranan agama
Kristen barangkali hanya merupakan salah satu contoh.
Edward Gibbon menulis sebuah karya terkenal dengan judul
“History of the Decline and Fall of the Roman Empire. Di dalam karyanya ini ia
mengusulkan atau mengajukan suatu pendapat bahwa agama Kristen benar-benar
merupakan unsur yang busuk dalam tragedi Romawi, bahwa agama Kristen telah
menghancurkan semangat warga Negara Romawi. Pendapat ini mendorong perhatian
mereka lebih kepada masalah kehidupan sesudah mati daripada mengenai
masalah-masalah pajak, kemiliteran, dan tugas-tugas lain yang bersifat
keduniawian. Para pembela agama Kristen berpendapat bahwa Kekaisaran Romawi
jatuh bukan karena terlalu Kristen, tetapi karena belum cukup Kristen.
Seorang sejarawan
terkemuka pada awal abad dua puluh. Rostovtsev berpendapat bahwa Roma
betul-betul telah runtuh ketika massa rakyat yang serba kekurangan itu menuntut
suatu standar hidup yang tinggi dan kebudayaan kosmopolitan yang telah
dinikmati oleh keras yang berkuasa. Para kritikus teori Rostovtsev menunjukkan
bahwa teori-teori sejarawan Rusia itu sangat dipengaruhi oleh
peristiwa-peristiwa yang terjadi di negerinya, di mana rezim tsarist akan
mengalami keruntuhan sebelum kaum komunis tampil sebagai pemenang dalam
revolusi 1917. Dalam kesusasteraan dan kesenian lainnya, dalam abad-abad
sebelumnya, yakni pada Zaman Emas dan Perak, seperti yang dialami oleh bangsa
Mesir. Para penulis sadar bahwa mereka tidak lagi hidup dalam “ masa-masa
kejayaan “ di bawah Pax Romana.
Memang sulit untuk mengatakan bahwa
kemunduran Roma antara lain karena faktor-faktor spiritual dan psikologis. Dari
ketidaktentuan ini kita bisa menarik dua pelajaran. Pertama, selama ada
sejarawan, selama itu pula ada perdebatan tentang pertanyaan yang begitu besar
sebagai eksplanasi atas kemunduran Roma. Kedua, dalam menjelaskan suatu
perkembangan yang rumit dan berlarut-larut seperti proses keruntuhan Romawi,
tidak akan pernah timbul jawaban sederhana, atau seandainya ada tak akan pernah
memuaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar