Selasa, 26 Juni 2012

Sejarah Eropa jilid 2


Para Penerus Augustus sampai dengan tahun 180 M.
Empat kaisar sesudah Augustus sesungguhnya tidak sesuai untuk memangku jabatan setinggi itu, Tiberius memerintah dari tahun 14 hingga 37 M, yang merupakan baik anak tiri maupun anak menantu Augustus, pada akhir hidupnya melarikan diri ke pulau Capri untuk mengungsi dari Roma dan dari musuh-musuhnya yang senantiasa membuat dirinya bingung. Caligula (37-41 M), yang merupakan cucu kemenakan Tiberius,menjadi gila dan akhirnya dibunuh. Claudius (41-54 M), paman Caligula, secara fatal mati karena diracun oleh istrinya sendiri. Istrinya ini sangat ambisius dan bersengkokol untuk merebut mahkota kerajaan guna ia serahkan kepada Nero, anaknya dari hasil perkawinannya sebelum ia kawin dengan Claudius. Nero (54-68 M), yang membunuh ibunya maupun istrinya sendiri, adalah kaisar yang bernasib paling buruk. Negara menyediakan tempat-tempat pertunjukan “ sirkus” yang gratis yang sering dalam bentuk pacuan kereta perang dan perkelahian para Gladiator. Di dalam kontes di Colosseum, di mana para gladiator itu sering tewas, menunjukkan suatu kebrutalan, yang merupakan sisi yang tak berperasaan dalam jiwa orang Roma.
Keruntuhan Roma
Kaisar-Kaisar yang Tak Berhasil (180-284 M)
Dengan meninggalnya Marcus Aurelius pada tahun 180M, Pax Romana dan abad-abad penuh dengan karya-karya agung dalam peradaban Romawi berakhir. Penganut Stoa yang agung itu meninggalkan prinsip-prinsip adopsi dan mengijinkan anaknya yang sesungguhnya, Commodus (180-193), untuk menggantikannya. Kekacauan, korupsi, dan pertumpahan darah pada masa-masa pemerintahan Cligula, Claudius, dan Nero muncul kembali. Commodus juga kaisar-kaisar lemah. Akibat kelemahan para kaisar ini adalah munculnya zaman anarkhi militer (235-284), digerakkan oleh militer karena faksi-faksi dalam angkatan brsenjata saling bertikai sendiri atas kesewenang-wenangan para kaisar. Pada separuh abad setelah tahun 235, secara bergantian Roma diperintah oleh hampir dua lusin kaisar, dan hanya satu diantaranya yang meninggal secara wajar. Terpikat untuk masuk politik dan mencari uang, tentara mengabaikan tugas wajibnya dalam melindungi kekaisaran. Pertahanan di sepanjang perbatasan Rhine-Danube mengalami kemerosotan. Kekaisaran Romawi yang telah bangkit kembali mulai mengancam daerah-daerah dominion Roma.
Reformasi Diocletianus dan Penerus-penerusnya.
Kaisar Diocletianus (284-305 M), seorang veteran tentara. Ia memulai serangkaian reformasi secara drastis yang akhirnya mentransformasikan Kekaisaran menjadi suatu otokrasi yang tersentralisir mirip prinsip-prinsip Oriental tradisional. Reformasi ini diteruskan Galerius ajudan Diocletianus tahun 293-305 M dan menjadi kaisar dari 305-311 M, serta di bawah musuh dan kaisar Galerius yakni Constatine yang termashyur ( 306-337). Sepanjang periode ini di warnai kekacauan dan tidak jelas kebijakan yang harus bertalian dengan Diocletianus yang harus dihubungkan dengan Galerius atau Constantine (306-337 M).Diocletianus dan para penerusnya meninggalkan rasa hormat seperti yang diperlihatkan oleh Augustus dan kaisar lainnya pada awal kekaisaran. Mereka menghancurkan keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi, kekaisaran dan civitas, menghapus hak-hak otonomi yang ada pada “civitates”, dan memeberikan kekuasaan absolute kepada para gubernur atas urusan-urusan local. Gubernur itu, dengan kesatuan-kesatuan territorial yang lebih kompak.
Diocletianus memindahkan ibukota kekaisaran belahan barat dari Roma ke Milan. Peranan kota Roma manjadi berkurang. Constatine menetapkan ibukota kekaisaran Romawi belahan timur di Byzantium, yang kemudian ia ubah namanya menjadi Konstantinopel. Pembagian kekaisaran Romawi ke dalam dua bagian ini merupakan suatu peristiwa yang penting. Pembagian secara politis ini sejajar dengan pembagian secara linguistis, mereka yang tinggal di belahan barat berbahasa Latin, yang di timur berbahasa Yunani. Tindakan Diocletianus ini jelas membuat adanya dua kebudayaan yang berbeda dan menggerogoti kesatuan bangsa Romawi. Ini nantinya menimbulkan divergensi antara peradaban Eropa barat dan selatan lebih condong ke Romawi dan peradaban Greco Oriental yang tersebar di Russia dan daerah Balkan.
Untuk menjamin ketangguhan para prajurit yang akan direkruit ke dalam angkatan bersenjata, Diocletianus mengandalkan pada orang-orang Jerman dan tentara sewaan asing lainnya. Dia tidak merekruit para warga Negara untuk menjadi tentara. Diocletianus meminjam kemegahan dan keagungan gaya Persia, di mana sang raja didudukkan sebagai seorang dewa. Ia menyepuh paku dan emas yang telah dipoles untuk membuat barang-barang yang bergelantungan ditubuhnya lebih mempesona. Hal ini untuk menunjukkan identitasnya dengan matahari dan langit. Para pejabat pemerintahan memperoleh gelar-gelar keagamaan yang tinggi : pejabat keuangan kini bergelar “ count of the sacred largesses” (pangeran yang mendapat anugerah suci dan dewan Negara (dewan imperial) menjadi “consistory (dewan) suci”. Dengan sia-sia Diocletianus mencoba menyelamatkan kondisi keuangan pemerintahannya dari kebangkrutan. Usaha-usaha Diocletianus untuk mengendalikan inflasi dengan cara memaksakan kontrolnya atas harga menyebabkan timbulnya pasar gelap dan kerusuhan-kerusuhan dikalangan para pemilik took dan pembeli. Diocleatianus dan para penerusnya cenderung menegakkan suatu sistem kasta. Seseorang boleh jadi melakukan pekerjaan yang sama sepanjang hidupnya.
Dari waktu atau masa pemerintahan Diocletianus dan Constantine hingga lenyapnya kekuasaan Romawi barat secara penuh pada tahun 476 M, secara bertahap muncul dua lembaga atau institusi yang mengambil alih kendali atas Mediterania barat. Kekuasaan-kekuasaan baru ini adalah, pertama, Gereja Kristen, dan kedua, suku-suku Jerman yang mengorganisir suatu kerajaan yang mengganti kekaisaran Romawi barat.
Mengapa Roma Mengalami Kemunduran
Dalam kemiliteran, kemunduran mulai Nampak selama abad ketiga dengan terjadinya regenerasi legion ke dalam kelompok-kelompok penekan politik dan ekonomi. Dalam bidang pilitik, kemunduran mulai Nampak dengan ditinggalkannya sistem adopsi pada tahun 180 dan berlanjut dengan anarkhi militer serta pemaksaan cara-cara sentralisasi Oriental. Pada masa pemerintahan Diocletianus, perekonomian dan masyarakat Roma tengah menunjukkan gejala-gejala kemunduran yang serius. Krisis sosial dan ekonomi Kekaisaran Romawi dalam hal-hal tertentu merupakan akibat dari kekacauan anarkhi militer, menurunnya pertumbuhan penduduk berarti jumlah penduduk berkurang  sehingga jumlah pembayar pajak sedikit. Faktor-faktor moral, spiritual, dan psikologis juga ikut ambil bagian dalam kemunduran Romawi. Perdebatan mengenai peranan agama Kristen barangkali hanya merupakan salah satu contoh.
Edward Gibbon  menulis sebuah karya terkenal dengan judul “History of the Decline and Fall of the Roman Empire. Di dalam karyanya ini ia mengusulkan atau mengajukan suatu pendapat bahwa agama Kristen benar-benar merupakan unsur yang busuk dalam tragedi Romawi, bahwa agama Kristen telah menghancurkan semangat warga Negara Romawi. Pendapat ini mendorong perhatian mereka lebih kepada masalah kehidupan sesudah mati daripada mengenai masalah-masalah pajak, kemiliteran, dan tugas-tugas lain yang bersifat keduniawian. Para pembela agama Kristen berpendapat bahwa Kekaisaran Romawi jatuh bukan karena terlalu Kristen, tetapi karena belum cukup Kristen.
Seorang sejarawan terkemuka pada awal abad dua puluh. Rostovtsev berpendapat bahwa Roma betul-betul telah runtuh ketika massa rakyat yang serba kekurangan itu menuntut suatu standar hidup yang tinggi dan kebudayaan kosmopolitan yang telah dinikmati oleh keras yang berkuasa. Para kritikus teori Rostovtsev menunjukkan bahwa teori-teori sejarawan Rusia itu sangat dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di negerinya, di mana rezim tsarist akan mengalami keruntuhan sebelum kaum komunis tampil sebagai pemenang dalam revolusi 1917. Dalam kesusasteraan dan kesenian lainnya, dalam abad-abad sebelumnya, yakni pada Zaman Emas dan Perak, seperti yang dialami oleh bangsa Mesir. Para penulis sadar bahwa mereka tidak lagi hidup dalam “ masa-masa kejayaan “ di bawah Pax Romana.
Memang sulit untuk mengatakan bahwa kemunduran Roma antara lain karena faktor-faktor spiritual dan psikologis. Dari ketidaktentuan ini kita bisa menarik dua pelajaran. Pertama, selama ada sejarawan, selama itu pula ada perdebatan tentang pertanyaan yang begitu besar sebagai eksplanasi atas kemunduran Roma. Kedua, dalam menjelaskan suatu perkembangan yang rumit dan berlarut-larut seperti proses keruntuhan Romawi, tidak akan pernah timbul jawaban sederhana, atau seandainya ada tak akan pernah memuaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar